Jurnal Pelopor – Presiden Prabowo Subianto mengundang delapan konglomerat Indonesia ke Istana Negara pada Kamis, 6 Maret 2025. Pertemuan ini menuai sorotan publik karena mengingatkan pada praktik politik Orde Baru di era Presiden Soeharto.
Pertemuan Strategis di Istana Negara
Dalam unggahan resmi Sekretariat Kabinet di Instagram, disebutkan bahwa Presiden Prabowo berdiskusi dengan para pengusaha mengenai berbagai isu nasional dan global. Beberapa program utama pemerintah yang dibahas antara lain Makan Bergizi Gratis (MBG), infrastruktur, industri tekstil, swasembada pangan dan energi, industrialisasi, serta Badan Pengelola Investasi Danantara.
Adapun delapan taipan yang hadir dalam pertemuan ini meliputi Anthony Salim, Sugianto Kusuma (Aguan), Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Oesman Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata.
Kemiripan dengan Kebijakan Soeharto
Langkah Prabowo mengumpulkan konglomerat ini mengingatkan publik pada kebijakan Soeharto di era Orde Baru. Pada 1994, Soeharto mengumpulkan para taipan untuk menagih komitmen sosial mereka guna mengentaskan kemiskinan. Saat itu, ia meminta mereka menyumbangkan satu persen dari kekayaan mereka, yang kemudian disepakati menjadi dua persen dari keuntungan.
Sejarawan menilai praktik koncoisme, politik yang mengutamakan kedekatan dengan elite penguasa menjadi ciri khas rezim Soeharto. Para konglomerat seperti Liem Sioe Liong dan Bob Hasan memperoleh berbagai hak istimewa dan akses bisnis yang menguntungkan. Namun, kebijakan ini juga memunculkan ketimpangan ekonomi dan kritik terhadap korupsi politik.
“Dalam sejarah politik Indonesia, hubungan dekat antara penguasa dan konglomerat sering kali menimbulkan kekhawatiran akan praktik oligarki. Pemerintah harus memastikan kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu,” ujar Rudi
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga mengkritik pertemuan ini, mengingat Prabowo sebelumnya pernah mengkritik praktik koncoisme.
“Prabowo seperti menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Dulu mengkritik koncoisme, sekarang justru melakukan hal yang sama,” ujar Koordinator Jatam, Andi Wijaya, dalam pernyataan resminya.
Sorotan terhadap Sejumlah Konglomerat
Beberapa taipan yang diundang Prabowo memiliki rekam jejak kontroversial. Sugianto Kusuma (Aguan) di duga terlibat dalam skandal kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan Tangerang, Banten. Tomy Winata d ikaitkan dengan proyek Rempang Eco City yang memicu bentrokan antara warga dan aparat pada 2023. Sementara itu, Boy Thohir sempat di sebut dalam dugaan korupsi minyak mentah di Pertamina, meski Kejaksaan Agung membantah keterlibatannya.
“Tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Boy Thohir dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina,” kata Harli.
Jatam Sentil Prabowo soal Koncoisme
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkritik langkah Prabowo melalui unggahan di media sosial X pada 4 Maret 2025. Mereka menilai Prabowo melanggengkan praktik koncoisme yang sebelumnya ia kritik saat pidato di Universitas Pertahanan pada Februari 2024. Kala itu, Prabowo menegaskan bahwa jabatan seharusnya di berikan berdasarkan prestasi, bukan koneksi.
“Presiden ingin memastikan bahwa pembangunan nasional melibatkan semua pihak, termasuk sektor swasta. Tidak ada kepentingan politik dalam pertemuan ini,” ujar Airlangga.
Jatam juga menyoroti kabinet Prabowo yang di dominasi oleh perwakilan partai dan pendukung politiknya. Dari 54 pejabat kabinet, 18 di antaranya berasal dari Partai Gerindra, sementara 36 lainnya berasal dari Tim Kampanye Nasional (TKN). Beberapa di antara mereka juga memiliki latar belakang bisnis di sektor industri ekstraktif.
Implikasi Politik dan Ekonomi
Langkah Prabowo mengundang konglomerat ini menimbulkan berbagai spekulasi. Beberapa pihak menilai pertemuan ini bertujuan untuk mengamankan dukungan ekonomi bagi program-program pemerintah. Namun, kritik muncul terkait potensi konflik kepentingan dan konsolidasi kekuatan ekonomi di tangan segelintir elite bisnis.
Di satu sisi, pertemuan ini bisa menjadi strategi untuk menarik investasi dan memperkuat ekonomi nasional. Namun, di sisi lain, jika tidak di imbangi dengan regulasi yang ketat dan transparansi, kekhawatiran publik terhadap praktik koncoisme bisa semakin meningkat.
Kesimpulan
Pertemuan antara Presiden Prabowo dan delapan konglomerat besar Indonesia memunculkan pro dan kontra. Apakah ini merupakan langkah strategis untuk mempercepat pembangunan, atau justru menghidupkan kembali praktik koncoisme yang pernah terjadi di era Soeharto? Publik akan terus mengawasi bagaimana kebijakan ini berdampak pada ekonomi dan politik Indonesia ke depan.
Sumber: Antara, Tempo.com
Baca Juga:
Safari Ramadhan 1446 H Perdana PDPM Lamongan: Syiar Islam, Ukhuwah, dan Tebar Kebaikan di Desa Cerme
Baru 2 Bulan Ketua KPK Temukan Kejanggalan MBG
Saksikan berita lainnya: