Oleh: Dr. Mukhamad Roni, S.E., M.E.
Dosen Ekonomi Syariah, Peneliti Ekonomi dan Keuangan Syariah, Sekretaris III Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) DPW Jawa Timur
Rencana pembangunan pabrik bioetanol dan metanol di Bojonegoro telah mencuri perhatian publik, tak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Dengan nilai investasi yang diperkirakan mencapai Rp22,8 triliun, proyek ini digadang-gadang akan menjadi salah satu transformasi industri strategis di kawasan Jawa Timur. Namun sebagaimana investasi berskala besar lainnya, peluang dan tantangannya harus diurai secara jernih dan objektif.
Potensi Strategis: Penguatan Ekonomi Lokal dan Ketahanan Energi Nasional
Dari sisi potensi, pabrik etanol ini memiliki banyak nilai strategis. Bojonegoro adalah salah satu lumbung jagung nasional, dan juga memiliki potensi pengembangan tanaman tebu. Ini memberi peluang besar bagi petani lokal untuk tidak hanya menjual bahan baku, tetapi juga terlibat dalam rantai nilai industri. Menurut data awal, sekitar 300 ribu ton jagung akan diserap per tahun. Tak hanya meningkatkan daya beli petani, tetapi juga bisa mendorong lahirnya klaster industri turunan seperti pakan ternak dari limbah DDGS (Distillers Dried Grains with Solubles).
Secara nasional, proyek ini selaras dengan agenda besar ketahanan energi dan transisi menuju energi terbarukan. Saat ini, Indonesia masih mengimpor lebih dari 80% kebutuhan metanolnya. Kehadiran pabrik ini dapat menjadi game changer dalam memperkuat ketahanan energi berbasis domestik dan menopang program energi bersih seperti B50 dan biofuel lainnya.
Tantangan: Lahan, Perizinan, dan Infrastruktur
Namun tentu saja, proyek sebesar ini tidak datang tanpa tantangan. Isu utama yang mengemuka adalah persoalan perizinan dan kejelasan lahan. Lokasi yang semula diwacanakan di Kecamatan Gayam kini berpindah ke kawasan hutan di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem. Proses alih fungsi hutan dan pembebasan lahan menjadi pekerjaan rumah yang serius. Terlebih, dalam proses semacam ini, transparansi dan keterlibatan masyarakat sangat krusial agar tidak menimbulkan konflik agraria atau ketimpangan sosial.
Tantangan lainnya adalah kesiapan infrastruktur. Pabrik etanol berskala besar memerlukan dukungan logistik yang kuat-akses jalan, energi listrik, air bersih, serta konektivitas transportasi. Jika hal ini tidak diantisipasi sejak awal, keberlanjutan operasional bisa terhambat, dan efek ekonomi yang diharapkan tidak maksimal.
Prinsip Berkeadilan: Maslahah dan Keseimbangan Kepentingan
Sebagai akademisi dan pengamat ekonomi syariah, saya melihat pentingnya menempatkan proyek ini dalam kerangka pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Prinsip maslahah (kemanfaatan umum) dan al-‘adl (keadilan distributif) harus menjadi pijakan utama. Kita tidak ingin Bojonegoro hanya menjadi “tempat produksi”, tetapi juga menjadi pusat kesejahteraan baru yang inklusif bagi masyarakat sekitar.
Pemerintah daerah perlu mengambil peran aktif sebagai fasilitator dan penjaga keseimbangan antara kepentingan investor dan masyarakat. Sementara itu, masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi profesi seperti IAEI perlu ikut serta mengawal proyek ini, agar berjalan transparan dan memberi manfaat jangka panjang.
Pabrik etanol ini adalah peluang emas yang tidak datang dua kali. Namun, agar benar-benar menjadi berkah bagi Bojonegoro dan Indonesia, ia harus dikelola dengan kehati-hatian, integritas, dan visi jangka panjang.
Baca Juga:
Tanpa Target Juara, Sukorejo FC Bikin Kejutan di Bali 7’s 2025!
Hari Bumi 2025: BKPRMI Galang Aksi Tanam 1 Juta Pohon
Saksikan berita lainnya:
Demo Besar Tolak Revisi UU TNI: Apa Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia?