Jurnal Pelopor – Wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD kembali mencuat. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, menyuarakan gagasan ini dalam forum publik. Menurutnya, terdapat dua opsi yang tengah dikaji untuk membuat pelaksanaan pemilu lebih efektif dan efisien. Opsi pertama adalah gubernur dipilih oleh pemerintah pusat, sementara bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD.
Alasan di Balik Wacana Ini
Cak Imin menjelaskan bahwa wacana ini tidak datang begitu saja. Menurutnya, hasil Munas Nahdlatul Ulama telah merekomendasikan agar PKB mengkaji ulang sistem pemilihan langsung yang dinilai boros biaya.
“Seluruh kepala daerah habis biaya mahal untuk menjadi kepala daerah, yang kadang tidak rasional,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai bahwa pada akhirnya banyak pemerintah daerah masih bergantung pada pusat dan belum mandiri secara penuh.
Dukungan Golkar: Sudah Diusulkan Sejak Tahun Lalu
Menariknya, Partai Golkar melalui Ketua Umum sekaligus Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa partainya telah lebih dahulu mengusulkan ide ini sejak HUT Golkar akhir tahun lalu.
“Golkar sudah membicarakan itu duluan. Sudah saya pidatokan juga,” kata Bahlil.
Golkar menilai bahwa Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak mengharuskan pemilihan langsung untuk kepala daerah. Yang penting, pemilihan dilakukan secara demokratis. Bahlil juga menyebut bahwa pilkada langsung menimbulkan luka politik, tidak hanya bagi yang kalah, tetapi juga yang menang.
Pandangan Kementerian Dalam Negeri
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menambahkan bahwa usulan ini sah secara konstitusi. Ia menekankan frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18B Ayat 4 UUD 1945 sebagai dasar argumentasi. Dalam praktiknya, kata Tito, demokratis bisa berarti dipilih langsung oleh rakyat atau oleh perwakilan rakyat seperti DPRD.
Kritik dan Kekhawatiran Akademisi
Namun wacana ini tak luput dari kritik. Pakar politik UIN Jakarta, Adi Prayitno, menilai sistem ini justru merupakan kemunduran demokrasi. Menurutnya, rakyat akan kehilangan hak untuk memilih pemimpinnya sendiri dan daerah akan kehilangan otonominya karena pemimpinnya hanya perpanjangan tangan pusat atau kepentingan elit DPRD.
“Rakyat tak punya kemewahan pilih pemimpinnya secara langsung. Daerah hanya jadi objek kepentingan pusat. Daerah tak bisa berinovasi karena didikte dari atas,” tegasnya.
Pertanyaan yang Belum Terjawab
Jika wacana ini benar-benar dijalankan, banyak pertanyaan perlu dijawab. Apa saja regulasi baru yang harus disiapkan? Apakah sistem ini akan tumpang tindih dengan jadwal dan format pemilu nasional dan pilkada yang saat ini terpisah? Diskusi soal ini terus bergulir di kalangan pakar dan publik, termasuk bersama Titi Anggraini, pakar hukum pemilu dari Fakultas Hukum UI, yang hadir dalam acara Editorial Review detikcom.
Sumber: Detik.com
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
Takut Ekonomi Ambruk? Ini Aset Aman Selain Emas
Saksikan berita lainnya: