Jurnal Pelopor – Utang puasa terjadi ketika seorang Muslim meninggalkan puasa Ramadhan karena kondisi tertentu. Seperti halnya puasa Ramadhan, seorang Muslim juga wajib melunasi utang puasanya.
Baik karena sakit, perjalanan jauh, maupun alasan lain yang sesuai dengan syariat, seseorang harus mengganti puasa sebelum Ramadhan berikutnya tiba. Namun, beberapa orang mungkin belum melunasi utang puasanya meskipun Ramadhan telah kembali tiba.
Penjelasan MUI
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh, menyatakan bahwa setiap Muslim yang masih memiliki utang puasa Ramadhan harus segera melunasinya.
“Segera lunasi sebelum Ramadhan berikutnya tiba,” kata Ni’am Rabu (19/2/2025).
Jika seseorang masih belum melunasi puasanya hingga Ramadhan berikutnya, ia tetap harus menggantinya di tahun berikutnya.
Selain itu, ia juga harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud atau 750 gram makanan.
Jika seseorang sengaja menunda qadha puasa tanpa alasan yang sah hingga Ramadhan berikutnya, maka ia telah melakukan perbuatan haram. Namun, jika seseorang mengalami sakit keras dengan kemungkinan kecil untuk sembuh, ia tidak perlu berpuasa dan cukup membayar fidyah.
“Jika seseorang sakit keras dan tidak ada harapan sembuh (maradl al-maut), maka ia tidak wajib berpuasa dan hanya perlu mengganti dengan fidyah,” jelas Ni’am.
Hari-Hari yang Dilarang untuk Mengqadha Puasa
Meskipun qadha puasa adalah kewajiban, ada beberapa hari dalam Islam di mana seseorang dilarang berpuasa, termasuk untuk mengqadha utang puasa Ramadhan. Berikut daftar hari-hari tersebut:
1. Idul Fitri dan Idul Adha
Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, setiap Muslim dilarang berpuasa, termasuk untuk mengqadha utang puasa. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Rasulullah melarang puasa pada dua hari raya ini; mengenai hari raya Idul Fitri, karena merupakan saat berbuka dari puasamu (Ramadhan), sedangkan hari raya Idul Adha, maka makanlah daging kurbanmu.” (HR Ahmad dan imam yang empat dari Umar bin Khattab RA)
2. Hari Tasyrik
Hari Tasyrik, yang berlangsung pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, merupakan waktu bagi umat Muslim untuk makan, minum, dan berdzikir kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Hari-hari Tasyrik adalah hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah.” (HR Muslim)
3. Hari Jumat Khusus
Islam menganggap hari Jumat sebagai hari raya mingguan, sehingga seseorang tidak boleh berpuasa hanya pada hari itu tanpa menyertai puasa di hari sebelumnya atau sesudahnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Jumat, kecuali jika disertai dengan sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (HR Bukhari & Muslim)
4. Hari yang Diragukan (Syak)
Misalnya bertepatan dengan penentuan awal Ramadhan atau akhir Sya’ban. Rasulullah SAW memperingatkan umatnya agar tidak berpuasa pada hari ini. Ammar bin Yasir berkata:
“Siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, berarti dia telah berbuat durhaka terhadap Abul Qasim (Rasulullah SAW).” (HR Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud & Ibnu Majah)
5. Hari yang Dilarang oleh Suami kepada Istri (Tanpa Izin)
Seorang istri tidak boleh berpuasa jika suaminya berada di rumah tanpa seizinnya, kecuali saat bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaknya seorang istri tidak berpuasa satu hari ketika suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya, selain (puasa) Ramadhan.” (HR Bukhari & Muslim)
6. Hari di Bulan Ramadhan
Seorang Muslim wajib menjalankan puasa Ramadhan tahun itu, sehingga ia tidak bisa mengqadha puasa Ramadhan di bulan yang sama. Oleh karena itu, ia harus mengqadha puasa sebelum bulan Ramadhan berikutnya tiba.
Dengan memahami aturan-aturan ini, seorang Muslim dapat mengganti puasanya dengan tepat tanpa melanggar ketentuan syariat.
Sumber: Kompas.com, Detik.com
Baca Juga:
Aksi Massa Indonesia Gelap: Mahasiswa Tolak Pemangkasan Anggaran Pendidikan dalam Inpres 2025
Saksikan berita lainnya:
Penyelundupan Barang Ilegal: Bisnis Haram yang Tak Pernah Mati!