Jurnal Pelopor – Pemerintah memastikan bahwa hukuman mati tetap menjadi bagian dari sistem hukum pidana di Indonesia. Hal ini ditegaskan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Tempo, Kamis siang.
Menurut Yusril, hukuman mati tetap berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sanksi pidana yang bersifat khusus dan tidak dapat dihapuskan begitu saja.
Landasan Hukum yang Tegas
“Hukuman mati telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf C serta Pasal 67 dan 68 KUHP,” ujar Yusril.
Meski begitu, ia menekankan bahwa vonis mati tidak boleh dijatuhkan secara sembarangan. Dalam penerapannya, hakim wajib mempertimbangkan alternatif hukuman, seperti penjara seumur hidup. Bahkan, KUHP memberikan ruang grasi dan masa percobaan selama 10 tahun bagi terpidana mati.
Jika selama masa percobaan tersebut terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, Presiden dapat mengubah vonis mati menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Bukan Untuk Semua Kejahatan
Yusril menekankan bahwa pidana mati hanya berlaku untuk kejahatan berat tertentu dan harus di jatuhkan secara selektif. Ia meminta hakim berhati-hati karena hukuman mati adalah bentuk hukuman yang tak bisa di koreksi.
“Lebih baik membebaskan seorang penjahat daripada menghukum mati orang yang tidak bersalah. Karena, orang yang sudah dihukum mati tak bisa dihidupkan kembali. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah prinsip mutlak,” tegasnya.
Kritik dari Amnesty International
Meski tidak ada eksekusi mati sejak 2016, Indonesia tetap menjatuhkan vonis mati setiap tahunnya. Amnesty International mencatat bahwa pada tahun 2024, setidaknya 85 orang di jatuhi hukuman mati, mayoritas dalam kasus narkotika.
Hal ini memicu kritik dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang menyebut sikap pemerintah seperti menjalankan komitmen ganda.
“Di satu sisi, pemerintah tidak melaksanakan eksekusi, tetapi di sisi lain, tren vonis mati oleh hakim terus berjalan, terutama dalam kasus narkotika,” kata Usman pada 8 April 2025.
Terpidana Masih Bisa Ajukan Grasi
Yusril menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia masih memberikan harapan bagi terpidana mati. Selain masa percobaan 10 tahun, mereka juga tetap berhak mengajukan grasi kepada Presiden, sebagaimana di atur dalam Pasal 99 dan 100 KUHP.
Dengan demikian, hukuman mati tidak serta merta langsung di jalankan, melainkan masih memberikan ruang bagi keadilan dan kemanusiaan untuk di pertimbangkan.
Sumber: Tempo.com
Baca Juga:
Utang RI Rp 250 T, Sri Mulyani: Bukan Karena Tak Punya Uang!
Prabowo “Stop”: Semua Peraturan Menteri Lewat Presiden!
Saksikan berita lainnya: