BUMN dan Relevansi Reformasi
Sejak era reformasi 1998, upaya membersihkan sektor publik dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi agenda utama bangsa. Salah satu instrumen paling signifikan yang lahir dari semangat itu adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diberi kewenangan luar biasa untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi, terutama oleh penyelenggara negara. Dalam skema ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikelola oleh negara dan menggunakan dana publik, logis jika direksi dan komisarisnya dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Namun, pada 24 Februari 2025, Indonesia memasuki babak baru yang sangat kontroversial. Disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN secara otomatis mencabut status direksi dan pengawas BUMN sebagai penyelenggara negara. Dua pasal krusial yang menjadi sorotan adalah:
- Pasal 3X ayat (1): “Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara.”
- Pasal 9G: “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”
Kedua pasal ini, meski tampak sederhana, memiliki implikasi yang sangat luas dan mendalam. Dalam video ini tim redaksi jurnl pelopor berupaya menguraikan secara komprehensif dampak hukum, sosial, dan ketatanegaraan dari UU ini, sekaligus menempatkannya dalam konteks ancaman terhadap masa depan demokrasi dan pemerintahan yang bersih di Indonesia
Dampak Hukum: Mengurangi Kewenangan KPK
Dengan keluarnya direksi BUMN dari kategori penyelenggara negara, KPK kini tidak lagi memiliki kewenangan untuk menangani pejabat tertinggi di BUMN, kecuali terkait dengan penyelenggara negara lainnya. Hal ini tentu saja menurunkan efektivitas lembaga tersebut dalam memberantas praktik korupsi di tubuh BUMN yang seringkali terlibat dalam kasus besar.
Salah satu kritikus, Feri Amsari, pakar hukum tata negara, bahkan menyebut perubahan ini sebagai “pintu masuk legalisasi korupsi” di tubuh BUMN. Bagaimana tidak? Dengan kebijakan ini, BUMN yang seharusnya diawasi secara ketat kini menjadi lebih kebal terhadap tindakan hukum, meskipun mereka mengelola uang negara. Ini jelas menciptakan ketidaksetaraan di hadapan hukum, yang mana pejabat tinggi BUMN menjadi hampir tak tersentuh oleh hukum.
Dampak Sosial: Masyarakat Kehilangan Kepercayaan
Rakyat Indonesia telah lama disuguhi berita-berita korupsi di tubuh BUMN. Mulai dari kasus Jiwasraya yang merugikan negara lebih dari Rp 16 triliun, hingga Asabri, Garuda Indonesia, dan kasus pelanggaran tata kelola di PLN, Pertamina, hingga Krakatau Steel.
Kini, dengan hilangnya kewenangan KPK, masyarakat dihadapkan pada kemungkinan bahwa kasus-kasus seperti itu ke depan tidak lagi ditangani oleh lembaga antirasuah, tetapi oleh aparat penegak hukum biasa yang kredibilitasnya kerap diragukan.
Kondisi ini menimbulkan dampak psikologis dan sosiologis di tengah masyarakat:
- Turunnya kepercayaan terhadap institusi hukum dan negara. Rakyat bisa merasa bahwa hukum hanya ditegakkan untuk mereka yang lemah dan tidak memiliki koneksi.
- Tumbuhnya apatisme terhadap proses politik dan demokrasi. Bila pelanggaran ketika dan hukum dibiarkan, masyarakat akan kehilangan harapan pada proses politik.
- Normalisasi korupsi sebagai bagian dari budaya birokrasi. Ketika pelanggaran tak dihukum secara tegas, maka itu akan menjadi pola perilaku yang diimitasi oleh generasi berikutnya.
Dampak Ketatanegaraan: Melanggar Prinsip Negara Hukum
Secara ketatanegaraan, penghapusan status penyelenggara negara terhadap pejabat BUMN adalah bentuk pembangkangan terhadap semangat reformasi dan konstitusionalisme. UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN jelas menyebut bahwa siapa pun yang mengelola uang negara, berwenang membuat keputusan strategis, dan memengaruhi kebijakan publik adalah penyelenggara negara.
Dengan kata lain, UU BUMN 2025 secara substantif bertentangan dengan undang- undang sebelumnya, dan berpotensi cacat secara hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam logika hukum, ini membuka jalan untuk Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, dari segi prinsip checks and balances, UU ini memperlemah mekanisme pengawasan publik. Ketika entitas publik seperti BUMN tak lagi tunduk pada lembaga pengawas independen seperti KPK, maka terjadi kekosongan kontrol. Pemerintah menjadi pengelola, pengawas, sekaligus penentu sanksi. Ini adalah rezim tertutup yang rentan disusupi konflik kepentingan.
Politik di Balik UU BUMN: Kekuasaan Ekonomi dan Politik
Tak bisa disangkal bahwa BUMN adalah salah satu sumber daya ekonomi dan politik yang sangat strategis. Di era modern, penguasaan terhadap sumber daya melalui BUMN bisa berarti penguasaan terhadap opini publik, media, bahkan kekuatan politik.
UU BUMN 2025, jika dilihat dalam konteks ini, bukan hanya persoalan hukum, melainkan persoalan konsolidasi kekuasaan ekonomi oleh elite politik. Dengan mengeluarkan direksi BUMN dari pengawasan KPK, pemerintah (melalui kementerian teknis dan presiden) memiliki kontrol penuh tanpa gangguan dari lembaga independen.
Lebih jauh lagi, ini bisa menjadi alat untuk menciptakan kroniisme baru, di mana jabatan strategis di BUMN dijadikan alat balas budi politik atau kepentingan elektoral jangka panjang.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Tentu saja, kita tidak bisa tinggal diam. Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menghadapi UU BUMN 2025 ini:
- Mengajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi: Beberapa pakar hukum dan organisasi masyarakat sipil sudah berencana untuk mengajukan judicial review. Ini bisa menjadi langkah awal yang penting untuk menguji keabsahan UU ini.
- Membangun Koalisi Sipil dan Akademik: Dunia akademik, media, dan organisasi masyarakat perlu bersatu untuk memberikan tekanan moral dan hukum terhadap kebijakan ini.
- Mobilisasi Kesadaran Publik: Kita harus menyadarkan masyarakat akan dampak dari UU ini. Melalui informasi dan edukasi yang tepat, kita bisa membangun gerakan untuk melawan kebijakan yang merugikan banyak pihak.
Mengawal Masa Depan Indonesia
UU BUMN 2025 adalah ujian besar bagi Indonesia. Apakah kita masih ingin menjadi negara hukum yang berkeadilan, atau kita lebih memilih menjadi negara korporasi yang dijalankan oleh elit yang kebal hukum? Jika kita tidak bertindak, cita-cita reformasi 1998 bisa terancam, dan kita akan menyaksikan generasi birokrat dan pengusaha negara yang tak tersentuh hukum. Kini saatnya kita bersuara, bergerak, dan menjaga proses hukum agar keadilan tetap tegak di negeri ini.
Baca Juga:
Tanpa Target Juara, Sukorejo FC Bikin Kejutan di Bali 7’s 2025!
Hari Bumi 2025: BKPRMI Galang Aksi Tanam 1 Juta Pohon
Saksikan berita lainnya: