Jurnal Pelopor – Wacana pemerintah untuk memperkecil ukuran rumah subsidi hingga hanya 18 meter persegi menuai kritik tajam. Ide ini digulirkan oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait (Ara) sebagai solusi menyediakan hunian murah di tengah kota, terutama bagi generasi muda. Namun, banyak pihak menilai usulan ini tidak manusiawi dan jauh dari standar hunian layak.
Demi Dekat Kantor, Tapi Jauh dari Martabat?
Ara berdalih, harga tanah di kota besar sangat mahal sehingga rumah murah di pusat kota hanya bisa diwujudkan jika ukuran bangunannya diperkecil. Bahkan, Lippo Group mendukung gagasan ini dan telah mengajukan mockup rumah mungil seluas 14 meter persegi, dengan target harga Rp100–140 juta.
Namun realitasnya, lokasi rumah-rumah mungil tersebut tetap tidak bisa masuk ke pusat kota Jakarta. Sebagian besar hanya bisa dibangun di daerah seperti Cikampek, Purwakarta, Kabupaten Bogor, hingga Tangerang luar.
Kritik Pedas dari Arsitek dan Pengamat Properti
Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia, Georgius Budi Yulianto, menyebut ukuran rumah subsidi 14–18 meter persegi tidak manusiawi. Menurutnya, itu melanggar standar nasional dan internasional terkait hunian layak:
- UN Habitat & WHO menyarankan ruang hijau publik minimal 9–10 meter persegi per orang.
- Permen PUPR No.14 Tahun 2017 menetapkan minimal 7,2 meter persegi per orang di dalam hunian.
Georgius menegaskan, rumah dengan ukuran sekecil itu membatasi ruang gerak sosial dan fisik manusia, serta berisiko menimbulkan tekanan psikologis, stres, dan konflik dalam rumah tangga.
“Kita membangun kota yang rapat bangunan, tapi kosong kemanusiaan.” – Georgius
“Seperti Penjara”: Rumah Tak Lagi Rumah
Ferry Salanto, Kepala Riset Colliers Indonesia, juga menolak gagasan ini. Ia menyebut rumah berukuran 14 atau 18 m² lebih cocok untuk kos-kosan atau kamar tahanan, bukan rumah keluarga. Ia menekankan pentingnya solusi yang lebih realistis, seperti membangun rumah vertikal (apartemen subsidi) daripada memaksa rumah tapak dengan ukuran ekstrem kecil.
Solusi Rasional: Hunian Vertikal + Ruang Komunal
Menurut Ferry, rumah vertikal bisa menampung ruang pribadi yang lebih kecil asalkan diimbangi dengan ruang komunal seperti taman, lorong, dan ruang tamu bersama. Dengan begitu, aspek sosial dan kenyamanan hidup tetap terjaga.
Murah Tak Boleh Mengorbankan Martabat
Wacana rumah 18 meter persegi ini bisa jadi lahir dari niat baik. Namun, berbagai pakar menilai solusi ini sangat minim empati. Di tengah krisis perumahan yang nyata, pemerintah didesak mencari solusi yang tetap memanusiakan manusia bukan sekadar mengejar angka kepemilikan rumah.
Sumber: CNN Indonesia
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
Takut Ekonomi Ambruk? Ini Aset Aman Selain Emas
Saksikan berita lainnya: