Jakarta, 3 Maret 2025 – Wacana retret kepala daerah yang akan diadakan setiap tahun menimbulkan berbagai tanggapan. Ada yang mendukung, tetapi tidak sedikit yang mengkritik. Salah satu kritik datang dari Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, yang menilai bahwa agenda ini tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah.
“Kalau retret ini tujuannya untuk mengontrol kepala daerah, itu berlawanan dengan substansi UU Otonomi Daerah,” kata Media Wahyudi kepada Tempo (2/3/2025).
Menurut Media Wahyudi, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada masyarakatnya, bukan kepada presiden. Secara administratif, bupati dan wali kota bertanggung jawab kepada gubernur, lalu diteruskan ke Kementerian Dalam Negeri. Jika retret ini bertujuan untuk mengontrol kepala daerah, maka hal itu bertentangan dengan substansi Undang-Undang Otonomi Daerah.
Retret di Akmil Magelang, Apa Saja yang Dibahas?
Retret kepala daerah pertama digelar di Akademi Militer Magelang pada 21–28 Februari 2025 dan dihadiri oleh 493 kepala daerah serta 477 wakil kepala daerah. Sejumlah tokoh turut menjadi pembicara, termasuk Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto menginginkan retret serupa kembali diadakan pada 2026 untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah setelah satu tahun bekerja.
Menurutnya, evaluasi ini bertujuan agar kepala daerah tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga memastikan implementasi yang efektif.
“Retret ini supaya kepala daerah nggak cuma ngomong doang, tapi benar-benar menjalankan program dengan baik,” kata Bima Arya.
Beberapa target utama yang diharapkan dari retret ini antara lain swasembada pangan, hilirisasi industri, serta sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah.
Retret: Konsolidasi atau Kontrol?
Media Wahyudi menilai bahwa jika tujuan retret hanya sebatas harmonisasi kebijakan, maka cukup dilakukan sekali dalam satu periode pemerintahan. Ia menambahkan bahwa sudah ada mekanisme pembinaan kepala daerah melalui Kementerian Dalam Negeri dan Lemhannas, sehingga jika dilakukan setiap tahun, kegiatan ini berisiko menjadi bentuk kontrol yang berlebihan terhadap kepala daerah.
“Kan sudah ada mekanisme pembinaan kepala daerah melalui Kemendagri dan Lemhannas, jadi kalau setiap tahun rasanya malah seperti kontrol yang berlebihan,” jelasnya.
Sementara itu, pemerintah beranggapan bahwa retret tahunan penting untuk memastikan kepala daerah menjalankan kebijakan nasional secara efektif.
“Presiden ingin ada evaluasi rutin, biar program nggak mandek di tengah jalan,” tambah Bima Arya.
Namun, kritik datang dari kelompok oposisi dan aktivis demokrasi yang menilai kebijakan ini berpotensi membatasi independensi kepala daerah. Beberapa kepala daerah juga menilai bahwa retret ini bisa menjadi formalitas tanpa dampak signifikan bagi daerah.
Wacana retret kepala daerah setiap tahun masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, pemerintah melihatnya sebagai upaya konsolidasi agar program daerah selaras dengan kebijakan pusat. Namun, di sisi lain, jika dilakukan terus-menerus, kebijakan ini dikhawatirkan justru bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang menekankan kemandirian pemerintahan di tingkat lokal.
Sumber: Tempo.com