Jurnal Pelopor – Ombudsman RI mengungkap adanya ketidaksesuaian dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), khususnya di wilayah Bogor. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum MBG diketahui menerima beras kualitas medium dengan kadar patah di atas 15 persen, meski kontrak jelas mencantumkan beras premium.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi KU III Ombudsman, Kusharyanto, menilai hal ini sebagai bentuk penyimpangan serius.
“Yang kami temukan adalah penyimpangan ketika kontrak menyebut premium, tapi yang disediakan justru medium. Dan itu lolos dari pengecekan SPPG,” ujarnya, Selasa (30/9/2025).
Negara Bayar Premium, Anak Dapat Medium
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menegaskan masalah ini sangat merugikan publik. Negara telah membayar dengan harga premium, namun anak-anak sekolah yang menjadi penerima manfaat hanya mendapat kualitas beras medium. Kondisi ini jelas memengaruhi kualitas sajian MBG.
“Negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal,” ujar Yeka.
Masalah Bahan Baku Lain
Selain beras, Ombudsman juga menemukan bahan baku lain yang tidak sesuai standar. Di sejumlah dapur MBG, sayuran diterima dalam kondisi tidak segar, sementara lauk-pauk datang tidak lengkap. Hal ini terjadi karena ketiadaan standar mutu (AQL) yang tegas.
Polemik Penetapan Yayasan dan Mitra
Sejak awal, penetapan yayasan mitra MBG juga bermasalah. Dari 60.500 yayasan yang mendaftar, masih ada 9.632 yayasan yang belum mendapat kepastian status akibat ketiadaan standar waktu pelayanan. Ombudsman menilai kondisi ini membuka celah afiliasi dengan jejaring politik yang berisiko menimbulkan konflik kepentingan.
“Ini jadi pengingat bahwa program berskala nasional harus dijalankan transparan, adil, dan bebas dari intervensi politik,” jelas Yeka.
SDM Kurang dan Honorarium Terlambat
Persoalan juga muncul di sektor sumber daya manusia. Di Bogor, ahli gizi dan akuntan yang dijanjikan honor Rp5 juta per bulan baru menerima pembayaran setelah tiga bulan. Di Garut dan Bandung Barat, sekitar 50 relawan tiap SPPG mengaku kelelahan karena beban kerja besar tidak sebanding dengan kompensasi.
Di Lebong (Bengkulu) hingga Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), guru bahkan harus merangkap sebagai penanggung jawab distribusi makanan tanpa insentif tambahan.
Pengolahan & Distribusi Bermasalah
Standar Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) yang semestinya dijalankan juga sering diabaikan. Sejumlah dapur tidak menyimpan catatan suhu atau retained sample, padahal Badan POM telah terlibat dalam pengawasan 13 item mutu makanan.
Fakta adanya 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan hingga Mei 2025 menjadi bukti lemahnya pengendalian.
Distribusi pun bermasalah. Standar waktu empat jam untuk menjaga keamanan pangan kerap dilanggar. Di Bangka Belitung, distribusi sempat terhenti dua minggu tanpa penjelasan, memaksa guru kembali menjadi tumpuan tanpa fasilitas tambahan.
Dashboard Digital Tak Efektif
Ombudsman juga menyoroti sistem pengawasan digital Badan Gizi Nasional (BGN) yang belum optimal. Dashboard digital tidak mampu menampilkan data real time terkait mutu bahan, jadwal distribusi, maupun insiden keracunan.
Selain itu, skema ad cost masih tanpa petunjuk teknis rinci, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam penggunaan dana.
Catatan Penting Ombudsman
Yeka menyimpulkan, permasalahan MBG bukan sekadar teknis, tetapi menyangkut tata kelola secara menyeluruh. Mulai dari pengadaan bahan, penetapan yayasan, keterbatasan SDM, hingga distribusi dan pengawasan yang lemah.
“Persoalan ini harus segera dibenahi agar kepercayaan publik terhadap MBG tidak runtuh. Program sebesar ini tidak boleh jadi ajang coba-coba,” tegasnya.
Sumber: CNN Indonesia
Baca Juga:
Wow! Negara Komunis Ini Naikkan Tunjangan Guru Sampai 70%
Tren Baru! Brave Pink Hero Green Ramai Dipakai di Medsos
Saksikan berita lainnya: