Jurnal Pelopor – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan kembali menyuarakan keprihatinan mendalam atas maraknya kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI, khususnya yang menyasar sipil maupun sesama anggota. Dalam pernyataan resminya, mereka menyoroti vonis ringan terhadap pelaku penembakan anak di Serdang Bedagai serta mendesak pengusutan tuntas atas kematian Prada Lucky yang diduga kuat sebagai korban penganiayaan oleh seniornya di Batalyon Teritorial Pembangunan 834, Nusa Tenggara Timur.
Menurut koalisi, vonis 2,5 tahun penjara terhadap Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Francisco Manalu, pelaku penembakan anak berinisial MAF, sangat tidak proporsional. Vonis tersebut juga dinilai mengabaikan keadilan bagi korban dan keluarga yang sebelumnya mengalami intimidasi.
“Kami mendesak Panglima TNI mengevaluasi serius proses hukum kasus penembakan anak di bawah umur di Peradilan Militer I-02 Medan,” tegas mereka.
Kematian Prada Lucky Picu Sorotan Nasional
Lebih jauh, perhatian juga tertuju pada kasus Prada Lucky. Prajurit muda tersebut menghembuskan napas terakhirnya pada 6 Agustus 2025 setelah sempat dirawat dengan luka parah diduga akibat penganiayaan oleh rekan seniornya. Luka yang ditemukan pada tubuh korban termasuk bekas tusukan di kaki dan punggung serta memar hampir di seluruh tubuh.
Koalisi sipil menyebut, kasus ini seharusnya tidak diadili melalui peradilan militer.
“Kami mendesak agar kasus Prada Lucky diadili di peradilan umum, sesuai TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU TNI,” ujar perwakilan koalisi.
Mereka juga menilai sistem peradilan militer selama ini gagal memberikan keadilan dan justru melanggengkan impunitas bagi pelaku.
Desakan Revisi UU Peradilan Militer dan Reformasi Institusi
Salah satu poin penting yang ditegaskan adalah kegagalan reformasi peradilan militer. Koalisi mengutip Pasal 65 Ayat (2) UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah didesak untuk segera merevisi UU Peradilan Militer Tahun 1998 agar selaras dengan semangat reformasi.
Penolakan atas Rencana Pembentukan Enam Kodam Baru
Selain kasus kekerasan, Koalisi juga mengkritik rencana pembentukan enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru oleh TNI. Menurut mereka, penambahan ini justru mencerminkan kemunduran dalam agenda reformasi militer. Dalam pandangan mereka, keberadaan kodam sangat berkaitan dengan peran dwifungsi TNI di masa Orde Baru, yang berpotensi mengulang sejarah keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan sipil.
“Pemerintah seharusnya melanjutkan amanat Reformasi 1998, termasuk restrukturisasi komando teritorial, bukan justru memperluasnya,” kata koalisi dalam pernyataan tegas.
Kesimpulan: Seruan Reformasi Menyeluruh
Koalisi sipil secara tegas meminta penghentian pembentukan kodam baru dan mengusut tuntas kasus kekerasan yang melibatkan prajurit. Transparansi hukum, penguatan peradilan sipil untuk pelanggaran oleh anggota TNI, dan penegakan prinsip keadilan bagi korban menjadi kunci utama untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan. Jika dibiarkan, budaya impunitas dalam tubuh militer hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM di Indonesia.
Sumber: Detik.com
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
Takut Ekonomi Ambruk? Ini Aset Aman Selain Emas
Saksikan berita lainnya: