Jurnal Pelopor – Dunia usaha Indonesia berada di titik genting. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bergulir, bukan hanya karena faktor global, tetapi juga karena masalah domestik yang kian kompleks. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menyampaikan bahwa lonjakan PHK di paruh pertama 2025 bukanlah fenomena musiman, melainkan krisis struktural yang perlu segera ditangani.
Data BPJS Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang Januari hingga Juni 2025, terdapat 150.000 pekerja terkena PHK, dan lebih dari 100.000 di antaranya telah mengklaim manfaat jaminan sosial. Ini belum termasuk data dari Kementerian Ketenagakerjaan yang menggunakan basis pencatatan berbeda. Bahkan menurut Shinta, angka riil bisa jauh lebih tinggi dari yang terlaporkan.
Sektor yang paling terpukul adalah industri padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Menurunnya permintaan global, pelemahan nilai ekspor, dan kalahnya tarif perdagangan dengan negara kompetitor seperti Vietnam dan Bangladesh menjadi penyebab utama. Jika tidak segera dibenahi, Shinta memperingatkan, dampak domino terhadap ekonomi dan tenaga kerja Indonesia akan terus meluas.
“Kalau kita tidak punya insentif atau tarif perdagangan yang lebih kompetitif dari negara lain, order produksi akan berpindah ke luar negeri, dan kita yang kehilangan pekerjaannya,” ujarnya dalam konferensi pers Apindo di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Secara wilayah, Jawa Tengah mencatat angka PHK tertinggi, disusul oleh Jawa Barat dan Banten. Penyebabnya antara lain relokasi industri, penurunan ekspor, dan penutupan pabrik secara permanen.
Premanisme Jadi Ancaman Nyata di Kawasan Industri
Selain tekanan ekonomi, dunia usaha kini juga menghadapi tantangan dari sisi keamanan. Wakil Ketua Umum Apindo, Sanny Iskandar, menyebut premanisme di kawasan industri sebagai salah satu penyebab yang mengganggu stabilitas bisnis. Ia menyoroti sejumlah wilayah yang rawan gangguan, seperti Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, dan Kepulauan Riau.
“Premanisme ini sudah sangat meresahkan. Tidak hanya menghambat proses produksi, tapi juga membuat investor ragu untuk masuk,” tegas Sanny.
Menurutnya, gangguan keamanan ini tidak hanya berdampak pada kerugian langsung bagi pelaku usaha, tetapi juga merusak citra iklim investasi Indonesia di mata dunia. Investor asing mulai menahan diri, sementara investasi domestik pun mengalami perlambatan akibat kekhawatiran stabilitas.
“Kalau gangguan keamanan seperti ini dibiarkan, maka yang terjadi bukan hanya pengangguran bertambah, tapi kepercayaan terhadap Indonesia sebagai negara tujuan investasi bisa lenyap,” imbuhnya.
Kesimpulan: Indonesia Butuh Tindakan Cepat dan Terukur
Apindo secara tegas menyampaikan bahwa gelombang PHK ini adalah sinyal keras bahwa ada masalah mendasar dalam struktur ekonomi nasional. Dari pelemahan ekspor, penurunan daya saing, hingga premanisme yang mengintimidasi sektor riil, semua itu menandakan bahwa Indonesia sedang dalam tekanan serius, baik dari dalam maupun luar negeri.
Dunia usaha kini mendesak pemerintah untuk bergerak cepat. Tak hanya dengan kebijakan jangka pendek seperti insentif fiskal, tetapi juga dengan pembenahan menyeluruh terhadap sistem keamanan kawasan industri, reformasi logistik, hingga perjanjian dagang internasional yang lebih kompetitif.
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
Takut Ekonomi Ambruk? Ini Aset Aman Selain Emas
Saksikan berita lainnya: