Jurnal Pelopor – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilihan umum nasional dan pemilihan umum daerah terus menuai sorotan. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Ahmad Irawan, bahkan menyebut putusan tersebut keliru secara konstitusional.
Ahmad Irawan: Putusan MK Bertentangan dengan UUD 1945
Ahmad Irawan menilai, pemisahan pemilu nasional dan daerah bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyebutkan secara eksplisit bahwa pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali, termasuk untuk memilih anggota DPRD.
“Putusan MK itu salah. Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 secara tekstual dan eksplisit menentukan pemilu lima tahunan, termasuk untuk DPRD,” tegas Irawan, Sabtu (28/6).
Ia juga menyayangkan langkah MK yang dianggap melampaui kewenangan yudisial dan terlalu jauh memasuki ranah legislatif dan teknis implementasi pemilu.
Usulan Amandemen UUD dan Revisi UU Pemilu
Irawan menyebut bahwa sekadar merevisi UU Pemilu tidak lagi cukup. Ia mendorong adanya amandemen UUD 1945 sebagai bagian dari rekonstruksi sistem pemilu nasional secara menyeluruh.
“Pemisahan dan desain penyelenggaraan pemilu seharusnya menjadi bagian dari constitutional engineering yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, bukan tafsir sepihak MK,” ungkapnya.
Deddy Sitorus: Hormati Putusan MK, Tapi Perlu Solusi Teknis
Berbeda dengan Irawan, Deddy Sitorus dari Fraksi PDIP justru menerima keputusan MK secara realistis. Ia menyebut keputusan itu final dan mengikat, meski mengakui adanya tantangan administratif.
“Saya tidak terlalu mempermasalahkan jika konsekuensinya adalah perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Tapi dasar hukumnya harus dipikirkan matang,” kata Deddy.
Ia bahkan mengusulkan agar masa jabatan kepala daerah juga diperpanjang ketimbang menunjuk penjabat (Pj) yang justru bisa merusak siklus demokrasi daerah.
“Pj Kepala Daerah justru merusak siklus pemerintahan dan mengacaukan pemilu yang jurdil, seperti yang terjadi di 2024,” tambahnya.
Isi Putusan MK dan Dampaknya
Dalam putusan yang dibacakan Kamis (26/6), MK menyatakan bahwa pemilihan legislatif daerah (DPRD provinsi/kabupaten/kota) dan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) dipisahkan dari pemilu nasional.
MK memerintahkan agar pemilu daerah digelar paling lambat 2 tahun 6 bulan setelah pemilu nasional, termasuk pelantikan DPR dan presiden.
Putusan ini otomatis berimplikasi pada kemungkinan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah, serta percepatan pembahasan paket UU Politik untuk mengatur transisi sistem pemilu yang baru.
Kontroversi dan Jalan Panjang Penyesuaian Sistem Politik
Putusan MK ini memunculkan perdebatan besar di kalangan legislatif dan publik. Di satu sisi, pemisahan pemilu dinilai bisa mengurangi beban logistik dan kompleksitas teknis. Namun di sisi lain, keabsahan konstitusional dan dampaknya terhadap masa jabatan pejabat daerah masih jadi pekerjaan rumah.
Kini, pemerintah dan DPR harus segera menyusun langkah konkret untuk menyesuaikan sistem politik nasional dengan putusan tersebut tanpa melanggar prinsip-prinsip konstitusi yang telah ada.
Sumber: Detik.com
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
Takut Ekonomi Ambruk? Ini Aset Aman Selain Emas
Saksikan berita lainnya: