Jurnal Pelopor – Pemerintah Amerika Serikat resmi mengalami penutupan sebagian layanan atau shutdown sejak Rabu (10/10/2025). Kondisi ini menghentikan aliran data ekonomi federal pada momen krusial, sehingga memunculkan pertanyaan apakah situasi tersebut dapat memicu resesi di ekonomi terbesar dunia.
Dampak Langsung ke Data Ekonomi
Shutdown kali ini terjadi di tengah ketidakpastian pasar tenaga kerja dan inflasi. Akibatnya, The Federal Reserve (The Fed) seolah kehilangan arah karena tidak mendapat laporan penting, termasuk data ketenagakerjaan dari Bureau of Labor Statistics (BLS) yang seharusnya dirilis Jumat. Data tersebut sangat dibutuhkan untuk menentukan langkah kebijakan suku bunga pada akhir Oktober.
Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, bahkan menyebut situasi ini menyakitkan karena pengambil kebijakan seperti “terbang buta”. Ketiadaan data resmi membuat langkah The Fed dalam menavigasi transisi ekonomi menjadi jauh lebih sulit.
Sinyal Negatif dari Sektor Swasta
Sementara itu, laporan ADP National Employment Report justru memberi sinyal kurang menggembirakan. Data menunjukkan lapangan kerja swasta berkurang 32.000 pada September, menandai penurunan dalam tiga dari empat bulan terakhir. Hal ini memperlihatkan keengganan pelaku usaha menambah karyawan.
Matthew Martin, Ekonom Senior AS di Oxford Economics, menilai kondisi ini cukup serius. Ia bahkan mempercepat perkiraan pemotongan suku bunga The Fed dari Desember ke Oktober. Namun, langkah itu tetap penuh risiko mengingat informasi yang dimiliki belum lengkap.
Shutdown dalam Sejarah AS
Meski menimbulkan kekhawatiran, sejarah menunjukkan dampak shutdown tidak selalu sebesar yang dibayangkan. Dari 20 shutdown dalam setengah abad terakhir, rata-rata hanya berlangsung delapan hari. Aktivitas ekonomi yang hilang biasanya pulih pada kuartal berikutnya.
Scott Helfstein, Kepala Strategi Investasi di Global X, menegaskan bahwa shutdown memang merepotkan, tetapi jarang memberikan efek langsung besar pada perekonomian. Konsumsi masyarakat bahkan cenderung tetap tumbuh sekitar 0,5% saat shutdown terjadi.
Risiko Lebih ke Kebijakan, Bukan Shutdown Itu Sendiri
Hanya ada dua pengecualian, yakni pada era Ronald Reagan (1981) dan George H.W. Bush (1990), ketika shutdown berbarengan dengan kontraksi ekonomi. Namun, kedua kasus tersebut terjadi saat AS memang sudah berada di dalam resesi.
Artinya, shutdown kali ini sendiri belum cukup kuat memicu resesi. Risiko terbesar justru datang dari kemungkinan salah langkah kebijakan akibat kurangnya data akurat. Jika The Fed salah membaca situasi, dampaknya bisa lebih luas ketimbang sekadar penutupan sementara pemerintahan.
Sumber: CNBC Indonesia
Baca Juga:
Wow! Negara Komunis Ini Naikkan Tunjangan Guru Sampai 70%
Tren Baru! Brave Pink Hero Green Ramai Dipakai di Medsos
Saksikan berita lainnya: