Di balik deru mesin yang membelah jalan nasional dan truk-truk penuh muatan yang melintas siang dan malam, Indonesia menyimpan satu cerita lama yang makin menjadi luka terbuka: ODOL (Over Dimension Over Loading). Masalah yang tak selesai oleh razia, tak tersentuh oleh regulasi, dan malah menumpuk menjadi konflik sosial yang meledak di jalanan. Dan puncaknya terjadi pada 19 Juni 2025: ribuan sopir truk melakukan aksi mogok serentak di berbagai kota besar. Mereka bukan membawa batu atau spanduk anarkis. Mereka membawa mesin kehidupan bangsa—truk logistik. Dan mereka memarkirkannya di tol, lingkar kota, hingga jalur nasional. Negara pun lumpuh.
Apa yang mereka lawan? Kebijakan Zero ODOL yang disebut pemerintah sebagai bentuk komitmen terhadap keselamatan, tapi bagi para sopir, itu hanyalah bentuk pengabaian terhadap realitas hidup mereka. Dalam sorotan kamera, negara tampak tegas. Tapi di jalanan, keadilan justru tumpul. Dan yang dijadikan korban, selalu orang yang paling bawah: sopir kecil, pemilik truk mandiri, buruh logistik.
1. ODOL: Simbol Ketimpangan dan Ironi yang Sistemik
Masalah truk bermuatan berlebih bukan barang baru. Truk-truk tua, underpowered, dipaksa membawa dua kali beban normal. Sopir-sopir yang tak mengenal istilah “muatan aman” karena tekanan dari tengkulak logistik dan pengusaha yang hanya menghitung margin. Mereka tidak memiliki pilihan. Menolak berarti kehilangan pekerjaan.
“Saya hanya sopir, Mas. Bos suruh bawa segitu. Kalau saya nolak, yang lain siap gantiin.” — Testimoni sopir truk dari Mojokerto
Pernyataan ini berulang dari Jawa Timur hingga Sumatera. Dan kita tahu, siapa yang diuntungkan. Bukan sopir, bukan rakyat, tapi perusahaan besar logistik yang menekan tarif serendah mungkin dan memaksakan pengiriman dengan skema waktu mustahil. Lalu, ketika kecelakaan terjadi atau ditilang, yang dicap sebagai kriminal adalah sopir. Bukan sistemnya.
2. Mafia Jalanan dan Pungli: ODOL Jadi Lahan Uang Gelap
Fenomena ODOL bukan semata pelanggaran administratif. Ia telah menjadi ekosistem gelap yang melibatkan:
- Oknum petugas jembatan timbang
- Preman berseragam
- Terminal bayangan
- Hingga pengelola logistik abu-abu
Setoran “damai” adalah rahasia umum. Banyak sopir mengaku bisa lolos jembatan timbang dengan menyodorkan uang. Truk dengan stiker “Proyek Strategis Nasional” atau “Barang Vital Negara” bisa bebas tanpa ditimbang. Bahkan ada yang menyebut, razia adalah ladang setoran, bukan instrumen keselamatan.
“Kami tahu siapa yang bisa lewat, siapa yang harus minggir. Ada harga untuk itu semua.” — Sopir truk dari Karawang
Maka kebijakan Zero ODOL menjadi bias. Ia menghukum yang miskin, tapi membebaskan yang besar. Ketika hukum tunduk pada amplop, keselamatan tinggal jargon.
3. 19 Juni 2025: Saat Jalanan Melawan
Tanggal 19 Juni menjadi penanda bahwa ketegangan telah memuncak. Aksi mogok massal oleh sopir truk terjadi secara serentak di lebih dari 10 wilayah:
- Surabaya & Sidoarjo: Truk memblokade Bundaran Waru. Jalur vital lumpuh total. Sopir menyebut kebijakan ODOL sebagai “pembantaian logistik rakyat”.
- Bandung (Tol Soroja): Truk parkir di tengah jalan tol. Sopir duduk di aspal sambil mengangkat poster: Kami bukan kriminal.
- Boyolali & Karanganyar: Jalan ringroad ditutup. Bahkan ambulans terhalang.
- Kudus, Pati, Klaten, Subang, Yogya: Jalur nasional lumpuh. Negara seakan kehabisan napas—karena logistik berhenti.
Semuanya terjadi dalam satu hari. Aksi ini bukan anarkis. Tapi tegas. Disiplin. Terorganisir. Sopir menunjukkan bahwa mereka bukan hanya alat angkut. Mereka bisa bersuara.
“Yang nyuruh over muatan siapa? Bos. Tapi yang ditilang? Kami. Yang dipenjara? Kami. Yang mati di jalan? Kami juga.” Sopir truk dari Sidoarjo
4. Negara: Tegas di Panggung, Tumpul di Lapangan
UU No. 22 Tahun 2009 sudah jelas. Denda ODOL bisa mencapai Rp24 juta. Tapi di lapangan, implementasi tak konsisten. Tilang elektronik (ETLE) dipasang, WIM diberlakukan, tapi masih ada jalur tikus yang bisa disuap. Preman masih berjaga. Dan sopir masih ditekan.
Pemerintah menggagas “Zero ODOL” untuk keselamatan, tapi tidak pernah bicara soal struktur logistik nasional yang timpang. Tidak pernah ada audit ke perusahaan yang menyuruh ODOL. Tidak ada perlindungan bagi sopir yang menolak diminta muatan berlebih. Bahkan tidak ada jaminan tarif angkut yang layak.
Jalan raya menjadi arena hipokrisi. Di media, pemerintah seolah tegas. Di lapangan, hukum bisa dibeli.
5. Ironi Proyek Strategis Nasional: Simbol Ketidakadilan
Dalam aksi 19 Juni, beberapa sopir menunjukkan ironi:
- Truk mereka ditilang karena ODOL,
- Tapi truk “proyek nasional” lewat dengan bebas.
Apakah keselamatan bisa dibedakan berdasarkan proyek? Apakah berat muatan lebih ringan karena membawa bahan untuk bendungan atau tol?
Jika pemerintah tegas, harusnya semua sama di depan hukum. Tapi di Indonesia, plakat proyek bisa jadi paspor kebal hukum.
6. Sopir: Dari Korban Menjadi Tumbal
Yang paling menyedihkan adalah narasi media dan elite:
- Sopir dianggap biang ODOL,
- Sopir disudutkan sebagai pelanggar,
- Tapi tidak pernah disebut bahwa mereka hanya roda paling bawah dari rantai logistik penuh tekanan dan pemerasan.
Mereka tak punya perlindungan hukum,
Tak punya serikat kuat,
Tak punya daya tawar.
Dan kini, saat mereka melawan, mereka dituduh mengganggu ketertiban. Padahal, mereka hanya sedang berkata: cukup.
7. Apa Solusinya?
Zero ODOL tidak bisa hanya berbentuk razia dan stiker. Solusi nyata harus menyentuh akar:
- Audit terhadap perusahaan logistik yang menyuruh ODOL.
- Pemberian insentif tarif angkut berbasis muatan sah.
- Jaminan perlindungan hukum bagi sopir yang menolak melanggar.
- Penghapusan jalur pungli dan premanisme jalanan.
- Pelibatan serikat sopir dalam penyusunan regulasi transportasi.
Jika tidak, setiap razia hanya akan jadi tontonan. Setiap tilang hanya akan jadi transaksi. Dan sopir akan terus jadi korban. Atau lebih buruk lagi, tumbal dari kegagalan negara menata logistiknya sendiri.
Penutup: Truk Tak Lagi Diam
Tanggal 19 Juni harusnya jadi peringatan, bukan hanya catatan demo. Itu adalah momen saat negara dipaksa mendengar. Saat truk yang selama ini diam, akhirnya berbicara. Dan mereka berbicara dengan cara yang paling keras: berhenti.
Sebab roda tidak akan berputar dengan jujur, jika jalanannya dikuasai mafia. Dan negara tidak bisa terus berpura-pura netral, saat hukum dijalankan hanya untuk mereka yang tidak bisa membayar.
Karena hari ini, yang ODOL bukan cuma truk. Tapi sistem keadilan itu sendiri.
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
Takut Ekonomi Ambruk? Ini Aset Aman Selain Emas
Saksikan berita lainnya: