Jurnal Pelopor – Langkah gegabah Amerika Serikat menyerang tiga fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025 mungkin diniatkan sebagai pesan dominasi global. Namun yang terjadi justru sebaliknya: Iran menggertak balik dengan kartu pamungkasnya penutupan Selat Hormuz dan dunia langsung ketar-ketir. Arogansi berubah jadi kegugupan, ketika harga minyak mengancam melonjak dan mesin ekonomi global mulai tersendat.
Lebih dari 20% minyak dunia dan 30% LNG global melintasi selat sempit ini. Ketika Iran menyebut akan “menghukum musuh,” dunia tahu itu bukan sekadar ancaman retoris. Keputusan Iran untuk memobilisasi kapal perang, drone Shahed, hingga rudal permukaan-ke-permukaan di sekitar Hormuz adalah sinyal: ini bukan perang simbolik, tapi pertaruhan eksistensial.
Dan lihat siapa yang pertama panik? Bukan negara-negara tetangga, bukan negara berkembang. Tapi Washington dan sekutunya di Eropa, yang tiba-tiba melunak dan meminta China membujuk Iran agar “menahan diri.” Ironi geopolitik di tengah krisis: Barat yang selama ini meneriakkan sanksi dan supremasi justru memohon pada rival strategisnya.
Mengapa Hormuz begitu krusial? Karena Iran adalah penguasa de facto jalur ini. Tujuh dari delapan pulau strategis di sekitar selat berada di bawah kontrol Teheran. Pulau Abu Musa, Greater dan Lesser Tunb, bahkan telah dipenuhi instalasi militer IRGC. Secara fisik dan geografis, Iran memegang sakelar distribusi energi dunia.
Ketika AS membom Natanz, Isfahan, dan Fordow, mereka mungkin mengira Iran hanya akan merespons secara konvensional. Tapi Iran tahu cara bermain dalam medan non-konvensional energi, logistik, dan tekanan global. Dan kini mereka bermain catur, sementara Barat sibuk bermain adu otot.
Permintaan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio agar Beijing ikut menenangkan situasi justru menjadi pengakuan terbuka atas kegagalan strategi Amerika sendiri. Ketika kartu truf dipegang Iran, pentagon tak punya pilihan selain mencari jalur keluar lewat musuh lamanya.
Arogansi Berujung Bumerang
Konflik ini bukan lagi soal Iran vs Israel atau AS. Ini tentang ketidaksiapan dunia Barat menghadapi efek dari kebijakan mereka sendiri. Barat menyalakan api, lalu terkejut saat rumah dunia mulai terbakar. Mereka yang sebelumnya percaya bisa “mengendalikan” Iran, kini justru meminta belas kasihan diplomasi.
Logika dan kehati-hatian harus menggantikan egosentrisme militer. Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, maka resesi global hanya soal waktu, bukan kemungkinan. Dan jika Barat tetap memilih jalur kekerasan, maka sejarah akan mencatat bahwa mereka sendiri yang melempar korek ke ladang bensin.
Iran bukan raksasa ekonomi atau militer, tapi punya posisi strategis yang tak tergantikan. Dunia harus mulai mengakui satu fakta: keseimbangan global tidak lagi bisa dipertahankan dengan unilateralisme. Iran, dengan segala kontroversinya, kini memegang salah satu tombol utama stabilitas dunia.
Kesimpulan
Kebijakan luar negeri yang hanya mengandalkan tekanan dan bom tidak akan menyelesaikan apa pun. Dunia butuh pendekatan baru—yang menghormati kedaulatan, geopolitik, dan realitas kekuatan yang sedang bergeser. Jika tidak, Hormuz bisa menjadi awal dari akhir dominasi Barat.
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
Takut Ekonomi Ambruk? Ini Aset Aman Selain Emas
Saksikan berita lainnya: