Jurnal Pelopor – Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, menyatakan keheranannya atas vonis ringan yang dijatuhkan kepada tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal, kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 319 miliar.
Menurut Yudi, hukuman ringan seperti ini tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dan justru bisa memicu keberanian untuk terus melakukan tindakan serupa.
“Heran mengapa koruptor semakin ringan hukumannya, terbaru adalah korupsi APD COVID. Ini tidak akan menimbulkan efek jera,” ujarnya.
Vonis Ringan Bukan Pertanda Baik
Yudi menegaskan bahwa vonis yang ringan justru memperburuk kondisi penegakan hukum di Indonesia. Dia menilai hal ini seharusnya menjadi catatan penting bagi Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Menurutnya, hakim-hakim yang menangani kasus korupsi harus mendukung upaya pemberantasan korupsi secara tegas, bukan malah memberi vonis yang cenderung meringankan pelaku.
“Malah akan semakin membuat orang berani untuk korupsi dan tentu ini seharusnya menjadi catatan bagi MA bahwa hakim-hakim tipikor justru tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi,” kata Yudi.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa vonis ringan ini menimbulkan kesan suram dalam upaya penegakan hukum.
“Terlepas dari independensi hakim, logika vonis ringan sementara kerugian negara besar membuat pemberantasan korupsi semakin suram,” tegasnya.
Permintaan Evaluasi Vonis Ringan
Yudi berharap Komisi Yudisial bisa lebih aktif mengevaluasi maraknya vonis ringan yang dijatuhkan hakim, terutama di kasus-kasus korupsi besar. Ia juga meminta agar jaksa penuntut umum (JPU) KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan harus mampu menghadirkan alat bukti yang kuat di pengadilan supaya vonis yang dijatuhkan sejalan dengan fakta kasus.
“Berharap KY pun mengevaluasi maraknya vonis ringan. Sementara penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan juga harus menyikapi fenomena ini baik bidang pencegahan maupun penindakan,” katanya.
Yudi menambahkan,
“Jika ada vonis yang terlalu di luar nalar dan logika, padahal penegak hukum dalam hal ini JPU mampu membuktikan kasus korupsi tersebut di persidangan dengan alat bukti yang kuat, maka itu harus jadi perhatian serius.”
Vonis Kasus Korupsi APD Covid-19
Sidang vonis kasus korupsi APD COVID-19 digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6). Tiga terdakwa yang divonis adalah:
- Budi Sylvana, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.
- Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri, divonis 11 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan, dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 224,18 miliar subsider 4 tahun kurungan.
- Satrio Wibowo, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia, divonis 11 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 59,98 miliar subsider 3 tahun kurungan.
Hakim menyatakan ketiganya bersalah melakukan korupsi dan melanggar Pasal-pasal dalam Undang-Undang Tipikor dan KUHP.
Dampak Putusan Ringan
Kasus ini menjadi sorotan karena kerugian negara yang sangat besar, mencapai Rp 319 miliar, namun hukuman penjara untuk salah satu terdakwa hanya 3 tahun. Putusan tersebut dinilai tidak sebanding dengan dampak kerugian yang dialami negara dan masyarakat di masa pandemi.
Yudi dan banyak pengamat hukum berharap putusan pengadilan selanjutnya memperhatikan efek jera agar korupsi tidak terulang. Hukuman yang terkesan ringan diharapkan diganti dengan sanksi tegas supaya pelaku korupsi benar-benar jera dan kapok.
Sumber: Detik.com
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
DPP BKPRMI Dorong Pemerintah Lebih Perhatikan Kesejahteraan Guru Ngaji
DPP BKPRMI Dorong Pemerintah Lebih Perhatikan Kesejahteraan Guru Ngaji
Saksikan berita lainnya:
Demo Besar Tolak Revisi UU TNI: Apa Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia?