Jurnal Pelopor – Tanggal 22 April diperingati sebagai Hari Bumi, momen global untuk merenungi kondisi bumi yang terus tertekan. Degradasi lingkungan, perubahan iklim, dan krisis biodiversitas menjadi bukti bahwa bumi tengah mengalami kelelahan parah dan manusia adalah penyebab utamanya.
Menurut FAO, sepertiga lahan dunia telah terdegradasi. IPCC mencatat dampak perubahan iklim terus meningkat karena emisi, deforestasi, dan limbah. Bahkan IPBES memperingatkan bahwa satu juta spesies terancam punah dalam dekade mendatang. Planet ini sedang berada di titik genting.
Indonesia dalam Ancaman, Data Deforestasi Masih Kontras
Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia memegang tanggung jawab besar. Namun, perbedaan data deforestasi dari KLHK, GFW, dan Auriga menimbulkan pertanyaan besar. Siapa yang harus dipercaya ketika bumi menjadi taruhannya?
Misalnya, GFW mencatat 1,4 juta hektar tutupan lahan hilang di 2023, sementara KLHK justru mengklaim penurunan deforestasi. Ketimpangan ini menuntut pendekatan yang lebih jujur dan etis dalam menyikapi bumi.
Ekoteologi: Ketika Iman dan Lingkungan Bertemu
Di sinilah konsep ekoteologi menjadi penting. Gagasan yang dikembangkan oleh Menteri Agama, Nasaruddin Umar ini, menyatukan nilai spiritual, iman, dan tanggung jawab ekologis. Alam dipandang sebagai ciptaan suci yang harus dijaga, bukan dieksploitasi.
Ekoteologi hadir lintas agama:
- Islam: Konsep khalifah dan mizan (QS. Ar-Rahman: 7–9)
- Kristen: Ajaran stewardship dalam Kejadian 1:26–28
- Hindu: Prinsip Tri Hita Karana
- Buddha: Ajaran interdependensi dan kasih sayang
- Kepercayaan Adat: Pandangan suku Dayak terhadap hutan sebagai ruang sakral
Semua ajaran ini selaras, mendorong harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Hari Bumi: Dari Simbol ke Aksi Nyata
Tema Hari Bumi 2025, “Our Power, Our Planet”, menyerukan peralihan ke energi bersih. Dunia menargetkan kapasitas energi terbarukan meningkat tiga kali lipat pada 2030.
Ekoteologi dapat menjembatani tantangan ini dengan memperkuat kesadaran moral dan spiritual. Bayangkan jika masjid, gereja, pura, dan vihara menjadi pusat edukasi iklim. Bayangkan tokoh agama berbicara lantang soal pelestarian lingkungan di setiap khutbah dan khotbah.
Dari Refleksi ke Transformasi
Indonesia, yang dikenal religius, memiliki potensi besar untuk menjadikan Hari Bumi sebagai momen ibadah kolektif. Sebuah ajakan untuk menjaga ciptaan Tuhan sebagai bentuk syukur dan tanggung jawab.
Hari Bumi bukan sekadar seremoni, melainkan awal dari transformasi spiritual dan ekologis. Dan ekoteologi, adalah jembatan menuju kesadaran itu.
Sumber: Kemenag
Baca Juga:
Utang RI Rp 250 T, Sri Mulyani: Bukan Karena Tak Punya Uang!
Hari Kartini: Dari Pingitan ke Pencerahan Perempuan Indonesia!
Saksikan berita lainnya: