Jurnal Pelopor — Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, memastikan bahwa peristiwa Mei 1998 tidak akan ditulis secara mendalam dalam draft buku sejarah nasional yang sedang disusun. Hal ini disampaikannya dalam rapat bersama Komisi X DPR RI, Rabu (2/7), menyusul polemik penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah digodok pemerintah.
“Memang buku sejarah ini tidak membahas Mei 1998, itu hanya snapshot karena hanya kecil, era reformasi yang tidak ditulis itu,” ungkap Fadli dalam pertemuan tersebut.
Fadli menjelaskan bahwa buku sejarah yang dimaksud bukan merupakan dokumen akademik yang mengulas peristiwa secara rinci. Menurutnya, penulisan ulang sejarah ini hanya menyajikan gambaran umum, bukan kronik detail tiap momen sejarah nasional. Ia bahkan mempersilakan pihak-pihak yang menginginkan versi mendalam untuk menuliskannya secara mandiri.
Kontroversi dan Kritikan dari DPR
Keputusan ini menuai kritikan, termasuk dari Fraksi PDI Perjuangan yang meminta agar proses penulisan ulang sejarah dihentikan sementara. Mereka menilai penyusunan sejarah tersebut tidak transparan, bahkan mengesampingkan peristiwa-peristiwa krusial yang memiliki dampak besar terhadap arah demokrasi Indonesia.
Menanggapi kritik tersebut, Fadli Zon justru mengutip amanat Presiden Soekarno: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Ia menyebut penyusunan buku ini tetap dibutuhkan sebagai bagian dari kerja kebudayaan yang berkelanjutan.
Dikerjakan oleh Akademisi dari 34 Perguruan Tinggi
Fadli menegaskan, proses penulisan buku sejarah ini melibatkan sejarawan dari 34 perguruan tinggi, yang terbagi ke dalam tiga zona: barat, tengah, dan timur. Ia membantah adanya kabar pengunduran diri sejumlah sejarawan dari proyek tersebut.
“Enggak ada yang mundur. Setahu saya tidak ada,” tegasnya.
Pertanyaan Soal Objektivitas dan Kepentingan Politik
Namun demikian, sejumlah pengamat sejarah menilai langkah ini berpotensi membentuk narrative control terhadap masa lalu, terutama terkait masa transisi kekuasaan dari Orde Baru ke Era Reformasi. Peristiwa Mei 1998, yang melibatkan jatuhnya Soeharto, kerusuhan sosial, dan pelanggaran HAM, dianggap terlalu penting untuk sekadar ditulis sebagai “snapshot.”
Sumber: Liputan6
Baca Juga:
Singonoyo Cup Meledak! Legenda Persibo Turun Gunung
Takut Ekonomi Ambruk? Ini Aset Aman Selain Emas
Saksikan berita lainnya: