Jurnal Pelopor, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Kasus ini berlangsung di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) selama periode 2018-2023.
Modus Operasi: Oplosan Pertalite Menjadi Pertamax
Berdasarkan keterangan resmi Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga membeli Pertalite (Ron 90) tetapi membayarnya dengan harga Pertamax (Ron 92). Setelah itu, mereka mencampur atau blending Pertalite di Storage/Depo agar menjadi Pertamax. Kejagung menegaskan bahwa praktik ini melanggar aturan yang berlaku.
Selain Riva Siahaan, enam orang lainnya juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu:
- Yoki Firnandi (YF) – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
- SDS – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
- AP – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
- MKAR – Beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa.
- DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim.
- GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Skema Korupsi yang Merugikan Negara
Riva Siahaan, bersama SDS dan AP, memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang dengan cara melawan hukum. Sementara itu, DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP untuk menetapkan harga tinggi (spot) meskipun syarat belum terpenuhi. Mereka juga mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.
Pada saat pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang, Kejagung menemukan adanya mark-up kontrak pengiriman (shipping). Yoki Firnandi, sebagai Dirut PT Pertamina International Shipping, diduga menaikkan biaya pengiriman hingga 13-15 persen. Hal ini menguntungkan tersangka MKAR dari transaksi tersebut.
Korupsi ini berdampak luas pada harga BBM yang dijual ke masyarakat. Karena mayoritas minyak dalam negeri diperoleh dari impor ilegal, harga dasar yang digunakan dalam penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) menjadi lebih tinggi. Akibatnya, anggaran subsidi BBM dari APBN ikut meningkat.
Kerugian Negara Mencapai Rp 193,7 Triliun
Kejagung menyatakan bahwa praktik ilegal ini telah merugikan negara sekitar Rp 193,7 triliun. Angka ini muncul akibat manipulasi harga minyak, mark-up pengiriman, serta penggelembungan subsidi BBM yang di bebankan kepada APBN.
Skandal ini menambah daftar panjang kasus korupsi di sektor energi. Modus pencampuran BBM dan manipulasi harga minyak telah memberikan keuntungan besar bagi para pelaku, sementara rakyat harus menanggung harga BBM yang lebih tinggi. Kejagung masih terus menyelidiki kasus ini untuk memastikan semua pihak yang terlibat mendapatkan hukuman setimpal.
Sumber: Kompas.com
Baca Juga:
Petani Susah, Beras Mahal: Siapa yang Bermain?
Saksikan berita lainnya:
Penyelundupan Barang Ilegal: Bisnis Haram yang Tak Pernah Mati!