Jurnal Pelopor — Aksi protes masyarakat adat dari Desa Wayamli dan Buli, Halmahera Timur, terhadap aktivitas tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) memanas. Pada Senin (28/4/2025), sekitar 300 warga menduduki jalan masuk area konsesi, menuntut pertanggungjawaban atas perusakan lebih dari 25 hektare hutan adat yang diduga dilakukan tanpa izin resmi maupun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Massa yang bertahan akhirnya dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian dan Brimob Polda Maluku Utara. Polisi menembakkan gas air mata ke arah kerumunan, menyebabkan seorang warga, Juliadi Palangi, mengalami luka tembak gas air mata di dada dan bahu kiri. Ia segera dilarikan ke Puskesmas Buli untuk mendapatkan perawatan medis.
Warga Mengutuk Tindakan Represif
Kemarahan warga semakin meluap setelah menyaksikan tindakan represif aparat. Melalui media sosial, akun @sumubibil_collective mengunggah kecaman keras, menyatakan bahwa aparat lebih melindungi kepentingan perusahaan tambang daripada hak-hak rakyat adat. Mereka juga mengungkapkan adanya intimidasi dan penangkapan paksa terhadap massa aksi yang masih bertahan di lokasi.
Dalam kondisi gelap dan kacau, belum diketahui secara pasti jumlah warga yang dibawa ke Polres Halmahera Timur. Warga mendokumentasikan bagaimana aparat menarik paksa demonstran, memicu kemarahan dan ketakutan di tengah masyarakat adat yang hanya memperjuangkan hak atas tanah leluhur mereka.
Kritik Terhadap Tindakan Aparat
Protes terhadap cara aparat membubarkan aksi tidak hanya datang dari warga, tetapi juga dari aktivis lingkungan. Lutfi Rabbo, lewat akun Facebook-nya, mengkritik keras metode penembakan gas air mata. Menurutnya, peluru gas seharusnya ditembakkan ke udara, bukan diarahkan langsung ke tubuh massa aksi dalam jarak dekat, karena membahayakan keselamatan.
Organisasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara pun ikut angkat suara. Mereka menilai kekerasan ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat. JATAM juga menyoroti bahwa PT STS mendapatkan izin operasi sejak tahun 2009 dari Bupati Halmahera Timur, dengan sebagian besar saham perusahaan dimiliki oleh Esteel Enterprise PTE, Ltd dari Singapura.
Belum Ada Keterangan Resmi dari Polisi
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak Polres Halmahera Timur belum memberikan keterangan resmi terkait bentrokan ini. Sebelumnya, pada Sabtu (26/4/2025), warga yang mencoba memantau aktivitas tambang di dalam area perusahaan juga sempat ditangkap, memperparah ketegangan antara warga dan aparat.
Situasi di Halmahera Timur saat ini masih tegang. Warga tetap bersikukuh mempertahankan hak atas tanah adat mereka, meskipun dihadapkan dengan intimidasi dan kekerasan.
Sumber: Detik.com, SuaraBojonegoro
Baca Juga:
Tanpa Target Juara, Sukorejo FC Bikin Kejutan di Bali 7’s 2025!
Hari Bumi 2025: BKPRMI Galang Aksi Tanam 1 Juta Pohon
Saksikan berita lainnya: