Oleh: Muhamad Musa, S.E
Di tengah tantangan iklim dan bencana banjir yang makin sering terjadi, Bojonegoro menyimpan potensi besar untuk menjadi kabupaten pelopor dalam pengelolaan air berbasis desa. Dua desa yang berada di tepian Sungai Bengawan Solo, yakni Gedongarum dan Kedungprimpen, menunjukkan bahwa dengan inovasi sederhana dan gotong royong petani, sistem pengairan mandiri mampu mengubah ancaman banjir menjadi berkah panen, bahkan hingga tiga kali dalam setahun, tanpa bendungan raksasa, tanpa proyek mercusuar.
Petani di kedua desa ini hanya menggunakan mesin diesel sederhana untuk menyedot air dari Bengawan Solo, lalu mengalirkannya melalui jaringan irigasi dan selokan menuju lahan pertanian. Ketika banjir datang, sebagian wilayah memang terdampak, tapi tanggul-tanggul yang kini makin kokoh membantu meredam dampaknya. Bahkan di saat Bengawan Solo meluap, saluran irigasi desa tetap mengalir dengan tenang, sebuah bukti bahwa manajemen air yang baik bisa dilakukan, bahkan tanpa infrastruktur mewah.
Namun, bayangkan jika ini dibarengi dengan dukungan anggaran yang serius dan sistematis dari pemerintah daerah.
Pada tahun 2025, APBD Bojonegoro mencapai kurang lebih Rp7 triliun. Ini bukan angka kecil. Ini adalah potensi besar jika digunakan dengan perencanaan matang. Bayangkan jika di tahun 2026 sebagian dari anggaran ini dialokasikan untuk membangun sistem irigasi dan embung yang terpadu, yang tidak hanya berdiri sendiri di tiap desa, tapi terhubung satu sama lain, menyatu dalam jaringan pengairan yang menyeluruh dari dataran tinggi ke dataran rendah.
Setiap tetes air dari hulu bisa dimanfaatkan untuk mengairi sawah di hilir. Setiap aliran sungai kecil bisa ditampung di bendungan mikro atau embung, bukan dibuang begitu saja menjadi banjir bandang. Wilayah-wilayah seperti Gondang, Temayang, Sugihwaras hingga Sekar, yang selama ini sering terkena luapan air dari pegunungan, bisa dialihfungsikan menjadi zona penyangga air pertanian bagi wilayah lain di Bojonegoro.
Namun semua itu hanya bisa terwujud jika ada kejujuran dan integritas. Jangan sampai anggaran besar hanya menjadi angka dalam kertas, yang hilang dalam proyek-proyek fiktif dan kepentingan pribadi. Kalau tidak dikorupsi, insya Allah pembangunan sistem irigasi terpadu ini bukan hanya mimpi. Ia bisa menjadi kenyataan yang mengubah wajah pertanian Bojonegoro untuk puluhan tahun ke depan.
Kesimpulan: Bojonegoro Bisa Memimpin, Kalau Mau Serius
Desa Gedongarum dan Kedungprimpen telah memberi kita bukti bahwa pengelolaan air bisa dilakukan, bahkan dengan cara sederhana. Sekarang tinggal bagaimana kita menjadikannya model besar untuk pengelolaan irigasi Bojonegoro secara menyeluruh. Dengan dukungan APBD, kemauan politik, dan partisipasi masyarakat, Bojonegoro bisa menjadi pelopor pertanian berkelanjutan di Jawa Timur bahkan Indonesia.
Air bukan musuh. Banjir bukan kutukan.
Dengan perencanaan, air bisa menjadi pilar masa depan Bojonegoro.
Baca Juga:
Tanpa Target Juara, Sukorejo FC Bikin Kejutan di Bali 7’s 2025!
Hari Bumi 2025: BKPRMI Galang Aksi Tanam 1 Juta Pohon
Saksikan berita lainnya:
Demo Besar Tolak Revisi UU TNI: Apa Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia?